Ketika ayat menjadi kompas
Dalam perjalanan hidup, saya percaya bahwa setiap orang pasti memiliki titik balik atau sebuah momen ketika hati disentuh dan pikiran tercerahkan. Bagi saya, titik balik itu tidak datang dari peristiwa yang besar atau dramatis, melainkan dari pertemuan saya dengan dua ayat Al-Qur’an. Dua ayat yang begitu sederhana dibaca, namun menyimpan kedalaman makna yang mengubah cara saya memandang dunia dan menjalani hidup. Mereka adalah Surah Al-Qashash ayat 77 dan Surah Ali 'Imran ayat 190.
Saya pertama kali benar-benar meresapi makna Surah Al-Qashash ayat 77 ketika menempuh pendidikan di Pondok Pesantren La Tansa. Di tempat itu, nilai-nilai kehidupan diajarkan bukan hanya melalui lisan para guru, tapi juga dari keseharian yang kami jalani bersama. Di sanalah saya diperkenalkan pada ayat ini:
"Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-Qashash: 77)
Awalnya saya hanya menghafalnya sebagai bagian dari pelajaran, namun seiring waktu, maknanya mulai menancap dalam. Ayat ini memberi tiga pesan penting yang seakan menjadi kompas hidup saya. Pertama, bahwa tujuan akhir dari semua yang kita lakukan adalah akhirat tempat kita akan kembali dan mempertanggungjawabkan segala amal. Kedua, bahwa hidup bukan melulu tentang ibadah ritual semata. Kita pun diperintahkan untuk tidak melupakan “bagian kita di dunia”. Artinya, mengambil peran aktif dalam kehidupan duniawi, berkontribusi, berkarya, menebar manfaat adalah bagian dari ajaran Islam. Ketiga, ada batas moral yang harus dijaga yaitu jangan membuat kerusakan. Sebab, dunia ini adalah amanah, dan kita dilarang memperlakukannya secara serakah, rakus, atau zalim.
Saya mulai melihat bahwa menjadi seorang muslim tidak berarti menarik diri dari dunia, tetapi justru mengambil bagian di dalamnya dengan cara yang bertanggung jawab dan penuh nilai. Ayat ini menanamkan kesadaran bahwa ibadah bukan hanya di atas sajadah, tetapi juga di tengah masyarakat, di balik meja kerja, bahkan dalam cara kita memperlakukan bumi.
Kemudian, perjalanan saya membawa saya ke fase berikutnya dalam kehidupan dunia kampus dan organisasi. Saat bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), saya kembali bertemu dengan sebuah ayat yang selama ini hanya saya lewati tanpa banyak perenungan. Namun kali ini, ayat itu hadir dalam nuansa yang berbeda, dan menyapa saya dengan lebih dalam. Surah Ali 'Imran ayat 190:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal." (QS. Ali ‘Imran: 190)
Saya mulai menyadari bahwa Allah mengajak kita untuk berpikir, merenung, dan mengamati ciptaan-Nya. Bukan sekadar takjub, tetapi juga menggali hikmah di baliknya. Langit dan bumi, siang dan malam, semuanya mengandung tanda-tanda kebesaran Tuhan bagi mereka yang disebut Ulul Albab.
Istilah ini begitu menarik bagi saya. Ulul Albab bukanlah orang biasa. Mereka adalah sosok-sosok yang berpikir jernih, hatinya bersih, dan pikirannya mendalam. Mereka tidak hanya berdzikir, tapi juga berpikir. Mereka tidak hanya menggunakan logika, tapi juga mengikatnya dengan rasa syukur dan kesadaran akan kebesaran Tuhan. Bagi saya, ini adalah gambaran manusia ideal dalam Islam, manusia yang mampu menyatukan iman dan ilmu yang disalukan dengan amal.
Dua ayat ini, bila dikaitkan, membentuk satu jalinan pemahaman yang sangat kuat. Saya mulai memahami bahwa seorang muslim tidak bisa hidup hanya dalam satu kutub. Tidak cukup hanya rajin ibadah tanpa kontribusi pada dunia, dan tidak cukup hanya cerdas dan aktif di dunia tanpa kesadaran spiritual. Kita harus menjadi manusia yang seimbang, yang mengejar akhirat tanpa melupakan dunia, yang berpikir kritis tanpa melupakan dzikir, yang berilmu tanpa melupakan iman.
Saya kemudian membayangkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah Islam seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Ibnu Taimiyyah, dan lainnya. Mereka bukan hanya ulama, tetapi juga ilmuwan, pemikir, dan kontributor besar dalam ilmu pengetahuan. Mereka adalah Ulul Albab sejati, orang-orang yang menjadikan pemikiran sebagai bentuk ibadah, dan ibadah sebagai dasar dari segala pemikiran.
Tentu saja, tulisan ini bukan untuk menyatakan bahwa saya telah sampai pada titik itu. Justru, ini adalah semacam janji kepada diri sendiri, sebagai beban moral yang saya pikul secara sadar. Saya tau bahwa hidup tidak selalu lurus. Akan ada masa-masa di mana hati lemah, pikiran goyah, dan langkah mulai salah arah. Tapi di saat seperti itu, saya hanya bisa berdoa agar Allah terus menjaga hati ini, membolak-balikkan perasaan dan niat agar tetap berada dalam cahayanya.
Karena sejatinya, hidup ini adalah perjalanan. Dan dalam perjalanan itu, saya hanya ingin tetap berusaha menjadi bagian dari orang-orang yang berpikir dan berdzikir (Ulul Albab) meski perlahan, meski tertatih. Saya percaya, selama saya terus mengingat dua ayat ini, saya tidak akan benar-benar kehilangan arah.
Komentar
Posting Komentar